PERUBAHAN PARADIGMA KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI PASCA DIKELUARKANNYA POJK NOMOR 28 TAHUN 2015

PERUBAHAN PARADIGMA KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI PASCA DIKELUARKANNYA POJK NOMOR 28 TAHUN 2015

Oleh: Dedy Wijayanto, S.H.

 

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian khusunya Pasal 50 ayat (1), memberikan perubahan yang cukup signifikan berkaitan dengan kepailitan Perusahaan Asuransi. Hal tersebut dikarenakan dalam pasal a quo merubah kewenangan pihak yang berhak untuk memohonkan pailit Perusahaan Asuransi yang sebelumnya adalah Menteri Keuangan berdasarkan Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2014 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian dalam menjalankan wewenang tersebut, OJK mengeluarkan sebuah peraturan berkaitan dengan kepailitan Perusahaan Asuransi yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Selanjutnya disebut POJK Nomor 28 Tahun 2015).

Implementasi Penerapan POJK tersebut memberikan konsekuensi yaitu berkaitan dengan penambahan syarat-syarat kepailitan khusus terhadap subjek hukum dengan jenis usaha yang diatur dalam POJK tersebut. Pasal 55 ayat (1) POJK Nomor 28 Tahun 2015 menyebutkan bahwa:

“OJK menyetujui atau menolak permohonan kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan kepada pengadilan niada dengan mempertimbangkan:

  1. Pemenuhan persyaratan dinyatakan pailit sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan;
  2. Pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3);
  3. Kemampuan keuangan perusahaan untuk membayar utang atau kewajiban;
  4. Status pengawasan perusahaan;
  5. Pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan; dan
  6. Suatu kondisi tertentu.”

Walaupun adresat dari Pasal 55 POJK tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan bukan Pengadilan Niaga sebagai yang berhak menyatakan pailit terhadap seluruh subjek hukum, tetapi apabila dilihat secara sistematis dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian khusunya Pasal 50 yang memberikan kewenangan penuh bagi OJK sebagai satu-satunya pihak yang berhak untuk mengajukan pailit perusahaan asuransi didapat kesimpulan bahwa Pasal 55 POJK tersebut mengikat terhadap keseluruhan proses kepailitan perusahaan asuransi.

Sebelum diterapkan POJK tersebut, maka syarat materil kepailitan Perusahaan Asuransi hanya diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU di Indonesia khususnya Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”

Pengertian jatuh waktu dan dapat ditagih dijelaskan dalam Penjelasan Pasal tersebut adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Pengaturan dan penjelasan sedemikian menimbulkan celah jika dikaitkan dengan alasan mengapa utang tersebut jatuh waktu dan dapat ditagih yaitu karena debitor tidak mampu membayar (Unable) atau tidak mau untuk membayar (unwilling). Dengan pengaturan sedemikian rupa sangat mudah untuk memailitkan subjek hukum di Indonesia dikarenakan sama sekali tidak memperhatikan ataupun mempertimbangkan berkaitan dengan kemampuan dari subjek hukum untuk membayar ataupun menjalankan kegiatan usahanya.

Paradigma tersebut berubah terkhusus berkaitan dengan kepailitan perusahaan asuransi dan subjek hukum lain yang dijelaskan dalam POJK Nomor 28 tahun 2015, yang mana OJK diwajib untuk mempertimbangkan Parameter yang berkaitan dengan kondisi keuangan perusahaan bukan hanya berkaitan eksistensi utang sesuai dengan yang diatur dalam UU kepailitan dan PKPU. Parameter yang berkaitan dengan kondisi keuangan Perusahaan Asuransi jelas terlihat dari adanya dipertimbangkannya parameter Kemampuan keuangan perusahaan untuk membayar utang atau kewajiban dalam POJK 28 Tahun 2015.

Parameter keuangan Perusahaan untuk membayar utang atau kewajiban ini sangat erat kaitannya dengan pengaturan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi (selanjutnya disebut dengan POJK Nomor 71 Tahun 2016) yang mana dalam POJK tersebut menempatkan tingkat solvabilitas menjadi parameter yang paling utama untuk menilai kondisi kesehatan perusahaan khususnya dihubungkan dengan kemampuan perusahaan untuk membayar utang maupun kewajiban. Tingkat solvabilitas sendiri secara sederhana diartikan dengan indikator yang menunjukkan jumlah asset dikurangi dengan segala kewajiban atau utang yang harus dibayarkan perusahaan asuransi. Kemudian dalam POJK tersebut juga diatur tentang kewajiban Perusahaan Asuransi untuk menjaga tingkat solvabilitas nya diangka paling rendah 100% (seratus persen). Angka tersebut diartikan sebagai jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan asset dan solvabilitas.

Ketika perusahaan memiliki tingkat solvabilitas semakin besar maka dapat diartikan secara langsung bahwa tingkat kesehatan perusahaan asuransi tersebut semakin bagus dan dapat memenuhi kewajiban terhadap segala utang ataupun kewajiban yang dimiliki perusahaan. Penentuan tingkat solvabilitas terdapat beberapa tujuan bagi perusahaan Asuransi yaitu untuk mengetahui posisi perusahaan terhadap kewajiban kepada pihak kreditor, menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang bersifat tetap, dan untuk menilai seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai utang. Ketika dihubungkan dengan pengajuan pailit maka OJK tidak hanya mempertimbangkan tingkat solvabilitas perusahaan ketika sebelum dimohonkan tetapi juga telah diperhitungkan secara matang tentang tingkat solvabilitas perusahaan asuransi ketika telah dilakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit apakah masih sesuai dengan pengaturan dalam POJK Nomor 71 tahun 2016.

Jika parameter tersebut dihubungkan dengan parameter status pengawasan maka ditemukan keterkaitan bahwa status pengawasan yang berkaitan dengan tingkat solvabilitas diwujudkan dalam kewajiban Perusahaan Asuransi menyampaikan rencana penyehatan keuangan kepada OJK ketika Perusahaan asuransi memiliki tingkat solvabilitas internal dibawah 120% (seratus dua puluh persen). Selain itu status pengawasan erat kaitannya dengan adanya temuan OJK berkaitan dengan pelanggaran peraturan yang berkaitan dengan Perusahaan asuransi diawali dengan pengenaan sanksi administrative dan kemudian diletakkan dalam pengawasan dalam artian adalah penyampaian rencana penyehatan seperti yang telah disebutkan diatas.

Kesemua parameter yang telah dijelaskan diatas sedikit banyak merubah paradigma kepailitan perusahaan asuransi yang sebelumnya dari tidak mau untuk membayar (unwilling) atau tidak mampu untuk membayar (unable) hanya menjadi tidak mampu untuk membayar (unable). Lebih lanjut sifat syarat yang kumulatif dari Pasal 55 ayat (1) POJK Nomor 28 Tahun 2015 juga berimplikasi dengan harusnya dipenuhi nya Pasal 55 ayat (1) tersebut secara kumulatif, sehingga membuat kepailitan Perusahaan asuransi memang sebagai ultimum remidium.

Leave a Reply